Assalamu`alaikum

Assalamu`alaikum
"Tuhan, aku sadar hidup hanyalah perjalanan sementara, maka izinkanlah aku mengisi waktu yang sementara ini dengan kebaikan & kebahagiaan cinta kasih yang Kau Ridhai. Dan kembali pada Mu dengan segala keberkahan"

Selasa, 28 Februari 2012

Aku,Bunda dan Hari spesial ayah....

Azan subuh berkumandang. 
Aku tersentak, dan segera mensyukuri keadaanku hari ini, mudah-mudahan Allah masih memberiku kesempatan memperbaiki kesalahanku di hari kemarin. Kulihat disebelahku, sosok bidadari kecil yang selalu menjadi penguatku. Haru selalu menyusup ke hatiku bila kususuri garis wajah lugunya. Rasa haru yang tidak berubah seperti ketika hampir 7 tahun yang lalu tangis pertamanya pecah dan mengubah seluruh kehidupanku. Zia, putri kecil yang selalu membuatku bersyukur Allah telah mengirimkannya kepadaku. Aku mengecup keningnya.
      
       Hari ini Rabu, 14 Januari 2009, ulang tahun ayah Zia. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini, tapi aku sudah membayangkan hari ini akan menjadi hari yang berat buatku. Aku segera bangkit ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Saat aku sampai di depan pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar, aku melihat ada yang bergerak di tempat tidur. Zia pasti juga sudah terbangun, tapi aku tau dia pasti akan pura-pura tidur kembali, untuk kemudian aku bangunkan seperti biasa. Sambil tersenyum kututup pintu kamar mandi.Saat aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Zia masih pura-pura tidur. Aku segera mendekatinya.
 
 “Assalamu’alaikum, putri cantik Bunda, bangun yuk, sholat shubuh dulu,” bisikku di telinganya. Zia menggeliat.
“Ya udah kalau enggak mau bangun, nih ada semut yang jalan mencari sarangnya,” aku menjalankan jari-jariku di badannya. Zia kembali menggeliat, kali ini dengan tertawa. Kemudian mata beningnya terbuka menatapku.
“Masih ngantuk, Bunda,” ujarnya manja. Aku segera mengusapkan tanganku yang masih basah ke wajahnya.
“Bunda juga masih ngantuk, tapi sholat itu kan kewajiban, Sayang. Nanti kalau mau bobo lagi juga gak pa-pa. Yuk,” ajakku menarik tangannya.
“Gendong Bunda,” ajuknya, aku segera bangkit.
“Iya, habis gendong Zia, Bunda gak bisa jalan, pinggangnya patah, mau?” aku juga pura-pura merajuk. Zia tertawa. Aku segera menarik tangannya, dan mendorong tubuhnya ke kamar mandi.
“Bunda tunggu ya, kita sholat berjama’ah,” aku segera menutup pintu kamar mandi.

Habis sholat subuh, Zia segera bangkit dan membereskan mukenanya.
“Lho, gak do’a dulu, Sayang?” tanyaku. Zia menggeleng
“Enggak Bunda, Zia mau menghapal senam dulu, nanti ditanya pak guru,” Zia segera membawa mukenanya ke kamar.
 
        Memang sejak masuk SD tahun ajaran kemarin, Zia selalu semangat bila berhubungan dengan pelajaran sekolah. Zia pernah berjanji akan terus menjadi juara 1 mulai dari kelas 1 ini, janji yang tidak akan pernah aku tuntut. Namun aku tau keingnannya belajar senam saat ini karena ada yang berusaha dihindari Zia, biasanya sehabis sholat subuh, kami do’a dan kemudian menceritakan rencana-rencana yang akan kami kerjakan hari ini. Mungkin ada yang tidak mau dia bahas denganku hari ini.
 
Saat aku selesai berdo’a, Zia keluar kamar.
“Mau senam dimana, Zi?” tanyaku.
“Di halaman belakang aja. Bunda mau ikut? Nanti ajari kalau Zia enggak tahu,” ucapnya lugu yang ku sambut dengan senyum.
“Bunda enggak tahu senam Zia itu bagaimana. Sekarang gini aja deh, Zia senam, bunda jadi penyemangatnya sambil nyiapain sarapan. Oke?” aku mengacungkan jempol sambil mengedipkan sebelah mataku.
“Oke,” ucap Zia dan membalas kedipanku.

Saat sarapan, suasana kembali sepi. Tidak ada celoteh riang Zia seperti biasa. Mungkin hari ini memang akan lebih berat dari hari-hari di 14 januari tahun-tahun kemarin.Zia telah lebih besar dan mengerti sekarang.
 
“Nanti kita ke tempat ayah ya,” aku mencoba mengawali pembicaraan dengan pelan. Zia diam. Dia menyendokkan nasi dengan enggan, dan tidak menjawab aku.
“Olah raganya jam berapa, Zi?” kali ini aku mencoba topik yang lebih ringan.
“Jam delapan,” jawabnya singkat. Kemudian dia menyuapkan suapan terakhir, minum susu dan bangkit dari kursi.
 
Aku pun segera mempercepat sarapanku.Tiap pagi aku mengantarkan Zia dengan mengendarai motor. Saat sampai di depan sekolah, dia segera turun dari boncengan.
 

“Nanti bunda yang jemput Zia ya, Zia tunggu bunda aja,” ucapku setelah Zia mencium tanganku. Aku masih melihat cemberut di wajahnya.
Biasanya sepulang sekolah yang menjemput Zia adalah Om Indra, adikku,.
dan Zia dibawa ke rumah kakek dan neneknya menunggu sampai aku pulang kerja dan menjemputnya disana.
“Zia enggak mau ke tempat ayah,” ucapnya pelan, bahkan nyaris tidak terdengar, tapi aku benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. Aku menarik nafas panjang dan turun dari motor.
“Ya udah, kita enggak ke tempat ayah, tapi tetap bunda yang jemput Zia ya, bunda udah izin pulang cepat hari ini,” aku berlutut dihadapan Zia. Wajah kami sejajar, aku jelas melihat ketidaksenangan di wajahnya, tapi dia mangangguk. Aku mencium kedua pipi bulatnya. Kemudian dia berbalik, dan berlari ke balik pagar sekolah.

Jam 12.00 wib, aku sampai di sekolah Zia. Banyak anak sekolah yang menunggu jemputan, tapi aku tidak melihat Zia. Aku segera masuk ke sekolah dan menuju kelasnya. Saat hampir sampai di depan kelasnya, aku melihat ibu Reni, guru kelasnya mendekatiku.
“Ibu mencari Zia?” tanyanya ramah.
“Iya, Ibu melihatnya?” aku balik bertanya. Ibu Reni tersenyum.
“Zia ada di ruang guru, mari ikut saya,” 
Ibu Reni menunjuk ke satu ruangan dan berjalan ke arah sana, aku pun mengikuti langkah-langkah bu Reni sambil bertanya-tanya ada apa dengan Zia?
 
Selama perjalanan menuju ruang guru, bu Reni cerita bahwa Zia, gadis kecilku, tadi bertengkar dan memukul teman sekelasnya, Dodi. 
Setelah ditanya Zia mengaku bahwa Dodi selalu mengejek Zia yang tidak pernah diantar atau dijemput ayahnya di sekolah. Tadi puncaknya saat Dodi bilang Zia tidak punya ayah, dan Zia benar-benar marah. 

Sekarang orang tua Dodi juga sudah ada di ruang guru.Seluruh tubuhku seakan rontok mendengar penjelasan bu Reni. Aku hanya memikirkan apa yang dipikirkan Zia saat ini, bagaimana aku akan menjelaskan ini padanya. Ya Allah, kuatkan aku untuk mampu menguatkan putriku, bisikku pelan.
Saat sampai di ruang guru, seorang ibu muda menghampiriku, menyalami dan menciumku.
 
“Maafkan apa yang telah diucapkan Dodi pada Zia ya, Bu,” bisiknya pelan. Aku mengangguk.
Hampir aku menitikkan air mata saat melihat putri kecilku menunduk menghadap meja guru, di sebelahnya anak laki-laki berbadan besar yang ku yakin bernama Dodi juga menunduk. Baju belakang Dodi kotor, mungkin Zia mendorongnya hingga terjatuh. Ya Allah, apa yang dirasakan Zia sehingga dia mampu menjatuhkan temannya seperti itu.
 
“Saya sudah menjelaskan pada Dodi apa yang terjadi pada ayah Zia,” ucapan bu Reni tidak lagi kuperhatikan,
Sekarang fokus perhatianku hanya menentramkan hati Zia dan menguatkan hatiku. Aku tidak boleh menangis disini, dihadapan guru, teman, orang tua teman, dan terutama di hadapan Zia. Aku harus kuat.
Aku segera memeluk Zia, dia tetap menunduk. Tidak ada air mata di pipinya, hanya kemarahan yang aku lihat masih tergambar jelas. Aku berbisik padanya untuk minta maaf pada Dodi dan ibunya, tegas Zia menjawab dengan gelengan.
 
Akhirnya aku minta izin membawa Zia pulang. Aku yang mewakili Zia meminta maaf pada Dodi, ibunya dan bu Reni sambil berjanji akan membicarakan hal ini pada Zia, dan besok Zia sudah mau meminta maaf.
Keluar dari sekolah, aku membawa Zia ke warung makan. Sambil makan aku mencoba menggali perasaannya, dia masih diam. Sehabis makan aku membawanya ke taman di tengah sebuah perumahan mewah tidak jauh dari sekolah Zia.
 
Di taman Zia masih bungkam. Saat sampai di sebuah kolam ikan, aku mengajak Zia berhenti dan melihat. Zia memperhatikan ikan-ikan tersebut.
 
“Lucu ya, mereka berenang kesana-kemari tapi gak pernah tabrakan, seolah-olah ada yang mengatur jalannya, seperti polisi ikan mungkin,” aku mencoba membuat Zia melupakan kejadian buruk yang baru dialaminya, tapi Zia tetap diam. Aku terus mencoba membuat Zia tersenyum. Tapi sepertinya dia sedang tidak ingin tersenyum.
 
“Ikan-ikan ini pasti juga punya ayah dan bunda kan, Bunda?” pertanyaan pelan Zia yang tiba-tiba seperti gelegar di telingaku. Sejenak aku menentramkan hatiku.
 
“Ikan dan semua makhluk hidup punya ayah dan bunda. Zia juga punya ayah dan bunda kan? Apa yang Zia pikirkan, Sayang?” tanyaku pelan.
 
“Ayah Zia di kuburan kan, Bunda? Zia enggak tahu ayah. Zia cuma tau fotonya. Kemarin waktu Zia cerita ke teman-teman kalau hari ini ulang tahun ayah dan kita akan ke kuburan untuk mendo’akan ayah, teman-teman bilang mana ada orang yang ngerayain ulang tahun di kuburan. Ayahnya Mita waktu ulang tahun ngajak Mita dan adiknya jalan-jalan, teman-teman yang lain juga. Cuma Zia yang ngerayain ulang tahun ayah di kuburan,” 
pelan aku dengar isak tangis Zia. Isak yang pelan namun pasti memancing air mataku, segera aku menghapusnya.
 
“Bunda kan pernah bilang ngerayain ulang tahun itu sebenarnya enggak ada, Sayang. Ulang tahun bunda dan Zia juga di rumah aja kan, bersyukur masih dikasih umur dan rezeki, terus doa sama Allah minta dikasih yang terbaik untuk tahun-tahun berikutnya. Iya kan?” 
aku benar-benar berusaha menetralkan suaraku.
 
“Tapi kan kita bisa cerita-cerita berdua, kalau ulang tahun ayah cuma bunda yang cerita, Zia enggak tau,”
 
“Jadi sekarang Zia mau bagaimana?”
 
“Zia mau punya ayah, abang, dan adik kayak Mita. Mita selalu cerita tentang adiknya yang baru lahir, lucu Bunda. Di rumah Mita pasti rame kan, enggak kayak rumah kita, cuma ada Bunda sama Zia. Sepi,” 
lagi-lagi ucapan polos Zia menusuk dadaku. Lama aku terdiam.
 
“Allah kok gak kasih Zia ketemu ayah ya Bunda?”
 
“Astaghfirullah, Zia enggak boleh ngomong gitu, Sayang. Zia ketemu ayah. Sampai usia 6 bulan tiap malam Zia bobo di gendong ayah, dinyanyiin ayah, ayah sayang Zia, ayah sayang bunda, tapi Allah lebih sayang ayah, Zia akan ketemu ayah nanti kalau Zia rajin sholat dan rajin mendoakan ayah. Zia pasti ketemu ayah, Sayang,” 
sejenak hampir aku lupa Zia adalah gadis kecil yang belum genap 7 tahun. Hampir aku ingin memastikan bahwa Zia mengerti apa yang aku maksud, tapi aku kemudian sadar. Zia belum mengerti apa-apa. Dia hanya membandingkan hidup yang dijalaninya dengan teman-teman sekolahnya.
 
“Ya udah hari ini kita enggak ke tempat ayah. Nanti kita akan ke satu tempat yang pasti Zia suka. Sekarang kita siap-siap dulu yuk, ada yang mau bunda beli,”

Aku sadar harus menunjukkan sesuatu pada Zia, dan untuk itu aku harus menguras tabunganku. Saat aku singgah ke ATM dan melihat sisa jumlah tabunganku, hampir aku membatalkan niatku. Tapi tidak, demi mendidik buah hatiku, aku harus melakukan ini, Allah yang maha mengatur rezeki. Aku mengambil setengah jumlah tabunganku, kuperkirakan itu cukup untuk mewujudkan niatku.
Dengan uang itu aku membelikan beras 90 kg, dan kue 100 kotak. Aku meminta Indra menjemput beras dan kue tersebut dan mengantarkannya ke tempat yang kumaksud.
Jam 16.00 wib, kami sampai ke tempat tujuan.
 
“P-A-N, pan, T-I, ti, panti, A-S-U, asu, H-A-N, han, asuhan. Panti asuhan,” 
pelan Zia mengeja tulisan yang tertera di papan di depan gedung sederhana tersebut, 

“tempat apa ini, Bunda?” tanyanya penasaran. Aku tersenyum.
 
“Kita masuk aja yuk, kita lihat ada apa di dalam,” jawabanku semakin membuat Zia penasaran. Dengan antusias dia mengikuti langkahku.
 
Kami masuk ke kantor pengurus panti, aku menyampaikan maksud dan tujuanku datang kemari. Bu Aisyah, ibu kepala panti mengerti niatku, beliau paham kesulitanku memberi pengertian pada Zia, dan beliau mengizinkan kami masuk ke ruangan yang merupakan tempat makan dan tempat belajar mereka. Kebetulan saat itu memang waktu belajar, jadi banyak anak-anak yang berkumpul di sana untuk belajar.
 
Bu Aisyah mengantarkan kami ke ruangan yang dimaksud. Saat menuju ke ruangan banyak hal yang di tanyakan Zia, dia mengira ini sekolah karena banyak anak-anak, tapi kok gak pakai seragam dan hal lain yang mengundang senyumku.
 
“Kita lihat aja nanti,” jawabku pada setiap pertanyaannya.
Di ruangan yang dimaksud, bu Aisyah meninggalkan kami. Aku duduk di salah satu kursi di tepi ruangan. Zia semakin bingung memperhatikan sekitarnya.
 
“Ini kelas berapa Bunda, kok ada yang udah besar?” tanyanya bingung. Aku kembali tersenyum.
 
“Itu ada yang sepertinya masih kelas 1 juga, sama dengan Zia, coba ajak kenalan,” tunjukku pada seorang gadis kecil yang sedang menulis di lantai. Zia melihat gadis itu, kemudian menatapku.
 
 “Ayo sana, gak pa-pa,” aku mendorong badannya pelan. Akhirnya Zia melangkah mendekati gadis kecil itu.
Akupun bangkit dan pindah ke bangku yang lebih dekat dengan mereka.
 
“Assalamu’alaikum, namaku Zia, boleh kenalan enggak?”

Zia duduk di dekat gadis tersebut dan mengulurkan tangannya. Gadis itu hanya melihatnya sekilas, kemudian kembali menulis.
Zia melihat aku, aku tersenyum dan menunjukkan perlengkapan menggambar miliknya. Zia ikut tersenyum dan berlari ke arahku, mengambil perlengkapan menggambar tersebut dan membawanya. Melihat keteguhan hati dan sifat pantang menyerah putri kecilku mengingatkanku pada almarhum ayahnya.
Aku lihat Zia mengajak gadis itu menggambar bersamanya. Gadis itu mau dan mereka pun terlibat dalam perbincangan seru khas anak kecil. Nama gadis kecil itu Shafa, nama yang dia sebutkan sambil mengambil krayon warna.
 
“Kamu gambar rumah ya?” tanya Zia setelah mereka masing-masing asyik menggambar.
 
“Iya, tadi di sekolah aku lihat temanku gambar kayak gini, aku jadi pingin buat juga. Kamu gambar apa?” tanya Shafa kembali.
 
“Ini gambar bunda, aku, dan ayah,” jawab Zia.
 
“Kok ayah kamu jauh di atas, pakai sayap lagi, emang ayah kamu malaikat?”
 
“Enggak, Ayah aku udah menginggal, kalau di TV dan buku-buku kalau yang meninggal kan ada sayapnya,” jawab Zia polos, jawaban yang ingin sekali aku ralat, tapi biarlah itu jadi satu catatan tugasku nanti.
 
“Ooo, bunda kamu mana?”
 
“Itu,” Zia menunjuk ke arahku, aku tersenyum dan melambaikan tangan.
 
“Bunda kamu cantik, aku mau nanti punya bunda secantik itu,”
 
“Emang kamu belum punya bunda?” tanya Zia penasaran, Shafa menggeleng.
 
“Kata Umi kami semua punya ayah dan bunda, tapi aku gak tau mereka, mungkin udah meninggal juga ya kayak ayah kamu,”
 
“Jadi kamu enggak tau ayah dan bunda kamu?” tanya Zia penasaran, Shafa kembali menggeleng.
 
“Aku juga gak tau ayahku, aku cuma lihat dari foto, tapi kan enggak jelas, aku jadi sering sedih,” ucap Zia lagi.
 
“Aku malah gak punya foto ayah dan ibu aku, aku gak tau wajah mereka,”
 
“Kamu enggak sedih?”
 
“Enggak. Kata umi, kami harus berdoa, mudah-mudahan suatu saat ada ayah dan ibu yang baik hati yang mau mengajak kami ke rumahnya dan membesarkan kami. Bulan lalu Nora temanku dibawa ke rumah barunya, ada ayah dan ibunya. Aku mau kayak gitu. Doain ya,”
 
“Kalau gitu aku juga mau berdo’a, mudah-mudahan ada ayah yang baik yang mau datang dan tinggal di rumah kami, soalnya aku gak mau pindah rumah. Boleh enggak ya?”
 
“Ya boleh aja, kamu sama bunda kamu kan sudah punya rumah, jadi ayahnya aja yang pindah ke tempat kalian. Kalau aku kan gak ada rumah,”
 
“Iya, ya, nanti aku bilang sama bunda,” 
jawab Zia ceria. Zia memandangku dengan senyum mengembang. Seingatku itu senyuman pertama dia hari ini.Tidak lama setelah itu anak-anak dikumpulkan di ruangan tersebut, kue dibagikan, doa dipanjatkan, untuk almarhum ayah Zia, untuk Zia, dan keluarga kami. Setelah itu kami permisi pulang.

Malam ini suasana sudah kembali seperti semula. Zia dengan celotehannya membuat suasana rumah menjadi ceria. Sehabis sholat maghrib, kami membaca alqur’an bersama setelah itu bercerita membahas kejadian hari itu.
 
 “Apa yang tadi diceritakan sama Shafa, kok kayaknya asyik sekali, sampai-sampai gak mau pulang?” tanyaku pada Zia. Dia tersenyum. Dengan bahasa dan gayanya dia cerita. Sampai pada satu kalimat.
 
“Bisa kan Bunda, kita cari ayah yang mau tinggal disini, biar ada yang bisa gendong Zia, enggak takut pinggangnya patah. Ya Bunda,” permintaan Zia kali ini benar-benar membuat aku mati kutu.
Biasanya selalu ada tawar menawar dalam permintaan yang diajukan Zia, tapi kali ini tidak ada tawaran apapun. Aku terdiam.
 
“Ya, Bunda,” Zia mendesakku. Aku terdiam.
 
“Oiya, masalah Dodi tadi, sudah mau minta maaf?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian Zia. Zia cemberut.
 
“Enggak, Dodi jahat, dia bilang Zia enggak punya ayah,”
 
“Lho, yang tahu Zia punya ayah atau enggak itu kan Allah, Bunda, kakek, nenek, Om Indra, Bu Reni dan banyak lagi, masak gara-gara Dodi ngomong gitu Zia gak percaya sama Bunda,”
 
“Zia percaya Bunda, tapi Zia enggak suka Dodi,” Zia semakin cemberut, cerianya kembali hilang
 
“Zia boleh enggak suka, tapi enggak boleh main pukul sembarangan. Kalau begtu apa bedanya Zia dengan Dodi, Zia lapor aja sama guru, biar Dodi yang kena marah, Zia enggak. Kalau kayak tadi Zia juga dimarahi kan?” Zia mengangguk.
 
“Terus?” desakku.
 
“Zia mau minta maaf kalau Dodi janji enggak gitu lagi,” ucap Zia
 
“Oke, nanti Bunda bilang bu guru,”
 
“Terus satu syarat lagi,”
 
“Apa, Sayang. insya Allah bunda penuhi,”
 
“Bunda harus cari ayah yang baik, yang mau tinggal disini dengan kita,”
 
Deg.!! Jantungku benar-benar mau copot. Selesai satu masalah, timbul satu masalah baru. Subhanallah, kehidupanku memang benar-benar berwarna. Mungkin ini cara yang ditunjukkan Allah untukku mulai berpikir ke arah itu. Ya Allah hanya hidayah Mu yang hamba harapkan untuk mewujudkan prasyarat yang diajukan anak hamba. Engkau yang Maha tahu apa yang terbaik buat kami. Berikanlah yang terbaik untuk kehidupan kami dunia dan akhirat, Amiiiin.




  
                                            oOOOO0-the end-0OOOo

by : My teacher Ade.S


-------------------------------------------------------------------------------------------------------

....  " Paras mu tak terlihat di mata ku,, ....
....    Tapi hati ku, bisa melukis kasih sayang mu..
....   
....    Diri mu tak lagi berada di samping ku..
.....   Tapi cinta mu,sll mengisi jiwa ku ..
..... 
....     Ayah, Aku percaya cinta tak kenal jarak dan waktu..
....     Karena Allah, menciptakan Cinta dalam Hidup dan Mati kita..
....
....     Ayah, aku percaya Allah lebih mempunyai cinta yang lebih besar dari ku..
....     Karena itu,Dia tak memberimu lebih banyak waktu di dunia yang fana ini..
....    
....    Ya Allah, izin kan aku mengukir senyum pada nya dari do`a ku setiap waktu.
....    Ya Allah, berikan lah maaf untuk segala kesalahan nya dari setiap permohonan ku pada Mu."


-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Craeted By : M.A sofyrah