Assalamu`alaikum

Assalamu`alaikum
"Tuhan, aku sadar hidup hanyalah perjalanan sementara, maka izinkanlah aku mengisi waktu yang sementara ini dengan kebaikan & kebahagiaan cinta kasih yang Kau Ridhai. Dan kembali pada Mu dengan segala keberkahan"

Minggu, 16 Desember 2012

More than love


 Ini adalah amanah seorang ibu yang begitu kehilangan putra bungsu kesayangannya. Ketika beliau mendengarkan ceritaku dan memintaku untuk menulisnya suatu saat nanti, aku tau beliau begitu ingin putranya dikenang selamanya. Hal yang pasti aku lakukan tanpa diminta. Walau ternyata ibu cuma mampu menahankan kehilangannya selama 5 bulan, dan menyusul kepergian putranya, aku merasa amanah ini harus tetap aku jalankan. Tidak ada yang aku sesali, walau kekuatan ini baru terkumpulkan sekarang.
            Hari senin itu dimulai dengan kegiatan sahur. Seperti biasa membangunkan bang Aka sahur, dan bersiap menemaninya (waktu itu aku puasa selang-seling karena menyusui). Zia ikut terbangun, dan entah kenapa aku membawanya ke meja makan dan mengatakan padanya untuk menemani ayah makan sahur. Dan itulah kali pertama dan terakhir zia menemani ayahnya makan sahur, kami sahur bersama layaknya keluarga. Setelah sholat subuh, semua berlangsung biasa, canda yang biasa.
Dan sebelum kembali tidur, bang Aka berpesan untuk membangunkannya lebih cepat karena ada kerjaan yang harus segera dia selesaikan, dan mengeluh kepalanya terasa berat, dari malam dia mengeluhkan itu. Sebagai seorang wanita yang terkadang hanya punya kekuatan dari ucapan, aku berkomentar panjang tentang pola hidupnya dimana kelelahan otaknya tidak pernah diimbangi dengan kegiatan fisik, suamiku sering menolak setiap aku ajak sekedar jalan pagi.
            06.30 pagi ketika aku terbangun, aku harus mengajar pagi itu dan masih ada materi pelajaran yang harus aku siapkan. Melihat suamiku tertidur pulas, kemudian mengingat pesannya, aku hanya berpikir ingin memberikannya kesempatan istirahat, maka aku tidak membangunkannya. Aku hidupkan computer, namun tidak hidup, berkali-kali kucoba tetap tidak hidup (dan kejadian yang sama terulang ketika bapak menyusul 2 tahun 6 bulan setelahnya, ketika laptopku untuk pertama kalinya hang dan benar-benar mati).  Sampai hampir putus asa karena computer tak kunjung hidup dan aku ingin membangunkan bang aka, namun kucoba lagi, hingga akhirnya hidup.
            07.00, suamiku memanggil dengan suara pelan, hampir tidak terdengar. Aku mendatanginya. Bang Aka mengeluh kepalanya semakin sakit, aku membantunya duduk, sedikit memijat leher, pundak dan kepalanya. Bang Aka masih ingat memanggil adikku untuk membawa Zia keluar dari kamar, entahlah mungkin dia tidak ingin Zia melihat kesakitannya. Bang Aka kemudian mengeluh mual dan mau muntah, setelah dia muntah, aku menyarankan untuk membatalkan puasanya, suamiku setuju. Aku membuatkan teh manis kesukaannya, tidak pekat dan manis. Bang Aka minum beberapa teguk. Kemudian dia minta tidur kembali, aku membantunya.
            Kupikir suamiku akan tertidur sebentar, maka aku keluar dan menelepon seorang teman unutk memungkinkan membawanya ke rumah sakit haji. Saat aku kembali ke kamar, suamiku sedang berusaha untuk turun dari tempat tidur, aku melihat ketika tubuhnya terhempas ke lantai dalam posisi duduk, aku tidak sempat menangkap badannya. Aku baru sadar kemudian, saat itu kakinya sudah tidak lagi sanggup menopang tubuhnya. Aku sempat marah karena itu berbahaya. Saat itu ibu dan ayah masuk ke kamar, ibu memijat punggungnya, ayah hanya melihatnya.
            Dan saat itu dia berkata “Aka minta maaf ya, Bu. Aka minta maaf ya, Yah,” tapi dengan suara celat, mungkin sepersekian detik aku sempat terpana dan berpikir ‘STROKE?’.
 Tapi kemudian bang Aka mendesak untuk meminta maaf pada abang tertuaku, dan mendesakku untuk menelepon salah seorang kawan kantornya, dengan nada sedikit marah karena tidak sabar, atau mungkin karena kesakitannya atau karena celatnya, entahlah. Adikku menelepon abang tertuaku dan menyampaikan pesan bang Aka, aku menelepon kawan kantornya. Aku hanya mengatakan bang Aka sakit, mungkin akan dibawa ke rumah sakit, dan dia minta temannya datang untuk mengambil flashdisc, agar kerjaan bisa dilanjutkan. Betapa sampai akhir hayatnya pun bang Aka begitu menanggungjawabi pekerjaannya.
            Aku kemudian segera meminta ayah dan ibu bersiap untuk mengantar ke rumah sakit. Abang keduaku mengeluarkan mobil, aku mengambil tensi mencoba menensinya. Saat kupasang manset, mencoba mencari detak nadinya, bang Aka tiba-tiba sudah tidak sadar dan mengorok. Aku tidak lagi bisa meraba detak nadinya mungkin karena panik, batinku. Aku segera melepas manset tensi, mengganti bajunya, tapi tidak celana pendeknya karena aku enggak kuat mengangkatnya. Tidak ada satu helaipun baju yang aku siapkan layaknya mau mempersiapkan untuk opname, aku hanya berpikir segera membawanya ke rumah sakit.
            Aku kembali meminta ayah dan ibu bersiap cepat karena bang Aka sudah tidak sadarkan diri. Segera ayah dan abang membawanya ke mobil.  Abangku nyetir, ayah di sebelahnya. Bang aka di bangku kedua, ibu di sebelahnya dan aku di belakang, tepat di sisi kepalanya.
            “Ade  minta maaf, Bang. Ade ridho…. Lailaahailallah…..” hanya itu kata yang kuingat kubisikkan di telinganya… entah berapa kali….. hingga tiba-tiba ibu mengagetkanku…
            “Kakinya, yah, kakinya,”spontan kami melihat kakinya, namun aku tidak sempat melihat apapun, “Coba dipijat, yah,” kata ibu kemudian.
Belakangan aku tau pada saat itu kakinya tiba-tiba menegang, dan mungkin pada saat itulah malaikat maut berada didekat kepalaku, mencabut nyawa suamiku.
            Saat aku kembali melihat wajahnya, air mata mengalir dari matanya, entah apa yang kupikirkan waktu itu, aku hanya menghapus air matanya.
            “Cari rumah sakit terdekat, enggak usah ke rumah sakit haji,” kataku.
            “Udah ke sufina azis aja,” usul ayah dan segera kuiyakan.
            Entah apa yang kupikirkan saat itu, tapi yang pasti aku perawat, dan mungkin saja aku sudah tahu kebenaran, tapi…… Entahlah mungkin tiada seorang istri yang sanggup mendiagnosis kematian suaminya.
            Sampai rumah sakit sekitar jam 8 kurang. Tubuhnya segera dipindahkan ke brankat. Di ruang IGD, perawat memberikan oksigen dan segera mengambil tensi untuk menensinya. Perawat kesulitan mencari nadinya, spontan aku memegang kakinya, mencoba mencari nadi disana, dan entahlah, aku masih merasakannya.
            “Sudah tidak teraba ya, kak, disini teraba,” ucapku berusaha sabar. Perawat melihatku, “Sabar ya, bu,” Cuma itu jawabannya.
            Ayah, ibu dan abangku menunggu di depan IGD. Aku sendiri mendampinginya, berusaha tenang, tapi aku baru sadari saat itu aku tidak bisa diam memperhatikan wajah suamiku, aku terus berjalan di seputar tempat tidurnya, mungkin itulah wujud kegelisahanku. Perawat lain datang membawa senter, dan menyenter matanya.
            “Pupilnya sudah melebar ya, kak?” tanyaku, dan pada saat itu mungkin mereka sadar aku juga  tenaga kesehatan. Kembali jawaban yang sama kudengar.
Saat kemudian perawat mencoba memberikan bantuan dan memijat jantungnya, aku segera benar-benar tahu apa  yang terjadi. Tapi entahlah aku tetap tenang, mendekati perawat, menepis tangannya, dan meletakkan tanganku di atas dada suamiku, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah hidupku, aku memijat jantung manusia, dan itu suamiku.
 Pijatan pertama, mulut suamiku terbuka, positif aku berpikir dia mencari udara, kedua tidak ada respon, ketiga, keempat, seterusnya tidak ada respon. Aku tidak tahu sampai kapan, aku berhenti, kemudian memandangnya, dan entah apa yang aku pikirkan. Saat menatap wajah tidurnya.
            Jam 8.10 menit dokter datang. Aku segera memanggil ibuku, aku bukan merasa tidak kuat mendengarkan apa yang akan disampaikan dokter, aku hanya merasa tidak mampu  bila harus menyampaikan kebenaran pada keluargaku. Dokter memeriksa, dan vonis itu datang.
            “Ini sudah meninggal, dari di jalan tadi kayaknya,” entah apa yang aku pikirkan mendengar itu, entah…. Seingatku ibu menangis, entahlah, hanya aku tidak menangis. Segera yang aku ingat adalah pikiran bagaimana memberitahukan mertuaku. Otakku berpikir, saat perawat bertanya akan dibawa kemana, tenang aku menjawab alamat mertuaku, sambil terus berpikir bagaimana cara memberitahukannya. Dan aku sempat meminta ibu menanyakan administrasinya. Ya tangisan ibu berhenti, mungkin karena melihat aku tidak menangis.
            Aku segera berpikir memberitahukan lewat kakak ipar, tapi aku tiba-tiba kehilangan cara mencari nomor teleponnya. Segera aku menelepon rumah mertua, karena itu nomor yang kuhapal. Bapak menerima teleponku, setenang apapun aku bertanya nomor kak non, bapak sepertinya tahu kalau ada sesuatu, tiba-tiba bapak  yang masih mempunyai ingatan baik diusianya yang 79 tahun lupa nomor anaknya. 
Aku segera minta izin menutup telepon dan mencari nomor telpon di phonebook hp, ternyata ada. Aku segera nelepon kakak. Aku tidak ingat bagaimana kakak menjawab telponku, aku hanya ingat saat bilang “Kak, bang aka sakit,”
            “Oya, sakit apa?” tanya kakak santai.
            “ Enggak tahu sakit apa kak, tadi kami bawa ke rumah sakit maksudnya mau opname,” tidak mudah mencari kata-kata.
            “Rumah sakit mana?” tanyanya lagi.
            “Rumah sakit sufina azis, kak, di karya, tapi waktu kami sampai sini, kata dokter bang aka udah enggak ada, kak,” salah satu hal tersulit adalah pertama kali mengatakan dan mengakui secara lisan suamiku sudah meninggal dunia, dan kak non orang pertama yang mendengar aku mengatakan itu. Pertama kalinya aku meneteskan air mata.
            “Serius de?” tanyanya mulai terisak. Ya allah, akulah orang yang paling ingin bahwa semua ini hanya canda, hanya  pura-pura….
            “Iya, kak, bang aka meninggal” aku kembali terisak pelan, “Mau dibawa kemana, kak?” aku kembali tenang, berusaha menguasai diri.
            “Bawa kesana aja,” jawab kakak menyatakan kerumah orang tuaku. Otakku masih berpikir jernih.
            “Kalo dibawa kerumah ayah, bagaimana bapak, kak, bapak enggak mungkin tidak melihat bang aka untuk terakhir kalinya,” jawabku. Ya bapak sudah tidak mampu berjalan. Kecelakaan yang menimpanya pada tahun 2003 membuat beliau harus terduduk di tempat tidur.
            “Lagian semua keluarga taunya kesana,” lanjutku, dan akhirnya kakak menyetujui saranku
            Aku tidak pernah suka ambulance, buatku suara sirene selalu identik dengan kesedihan. Dan seingatku ini kali pertama aku berada di dalamnya, bersama ibu, dan suamiku… Ahhh tidak mudah menyebutnya almarhum, tidak pada saat itu…
            Aku tidak sungguh ingat apa yang aku rasakan, tapi yang pasti aku menelepon untuk mengabari beberapa orang, sahabatku, teman kerjaku, teman kerja suamiku, dan sahabat suamiku yang aku kenal. Terkadang dengan nada datar hingga beberapa orang seperti tidak percaya, terkadang dengan sedikit terisak saat aku berbicara pada sahabat-sahabat baikku yang begitu mengenal aku dan suamiku.
Ketika dibelokan terakhir mendekati rumah mertua, aku meminta supir ambulance untuk mematikan suara sirene. Aku masih belum pasti apakah mertuaku sudah menerima kabar ini. Bahkan aku meminta supir untuk menurunkan aku lebih dulu sebelum mobil di putar balik. Tidak tau apa yang akan aku lakukan, tapi setidaknya aku merasa harus berani menghadapi semua.
            Aku melihat ibu, yang kemudian menghambur memelukku, menangis.
            “Bontot, de,” isaknya membisikkan panggilan kesayangan keluarga pada si bungsu. Aku memeluk ibu, sedikit terisak, dan melihat sekitar, rumah ini telah siap menerima kehadiran suamiku.
            Dua buah tilam telah diletakkan di tengah rumah, menghadap ke kiblat, tempat sementara suamiku melanjutkan tidurnya. Zia yang sudah beberapa saat tidak melihat kami menyambutku dengan ceria, masih sempat dia mencoba mengganggu tidur ayahnya, seperti biasa dia berusaha membangunkannya dan mengajak bermain. Dan aku menutup mata dan telinga dari sekitar, aku tidak ingin melihat tatapan mereka, aku tidak ingin mendengar ucapan mereka yang aku tau isinya pasti mengasihani aku dan zia. Aku hanya ingin melewati detik-detik kebersamaan kami dengan baik.  Namun saat wajah ayahnya mulai pucat dan dingin, zia tidak lagi perduli dan tidak lagi meminta untuk dekat dengan ayahnya.
            Ketika ibu memintaku untuk makan. Aku mengikuti langkah ibu ke ruang makan. Memakan roti dan secangkir teh manis hangat yang telah disiapkan untukku. Bukan karena aku merasa lapar, aku hanya tidak ingin pingsan dan kehilangan momen-momen terakhir kami. Aku harus memastikan semua proses berjalan dengan baik untuk suamiku, mungkin bentuk pengabdian terakhirku.
            Ini kali pertama aku mengikuti segala proses pengurusan jenazah. Aku ikut memandikannya, kali terakhir, dan aku ingat pernah memandikan saat suamiku sakit. Aku melihat saat suamiku dipakaikan kain kafan, aku ikut memegang kain panjang untuk menutupinya, dan kala itu kata hatiku berbicara padanya.
            “Begitu tenang abang pergi, pasti karena abang sangat mempercayai ade, maka ade akan jaga kepercayaan abang. Ade dan zia akan melanjutkan sisa hidup kami dengan sebaik-baiknya, ade akan berusaha menjadikan Zia sholehah seperti amanah abang. Ade mampu, bang, dan ade tau abang mengenal ade dengan sangat baik, dan abang pasti tau ade mampu. Allah akan membantu kami,” entahlah, kata-kata itu meloncat begitu saja dari hatiku. Untuk melepas kepergiannya dengan tenang, atau untuk menenangkan hatiku, entahlah…… Menciumnya untuk terakhir kalinya, mengelus alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir tipisnya, berharap mencium aroma khas tubuhnya, tapi parfum yang diberikan bilal membuat aku menyadari… Suamiku tidak lagi disini….
            Aku mengantar ketika dia disholatkan di mesjid, dan tiada penyesalanku dengan keadaanku yang tidak memungkinkan untuk ikut mensholatkannya. Aku hanya ingin memastikan semua proses berjalan baik. Dan saat jenazahnya diantar ke pemakaman, aku hanya melihatnya, karena ustadz sudah menyampaikan diujung pengantarnya, bahwa haram seorang wanita ikut ke pemakaman, maka tidak ada satupun dari kami yang mengikutinya, temasuk aku.
            Dan itulah terakhir aku secara fisik berdekatan dengan suamiku….  Saat kerandanya semakin jauh… Tangisanku meluap saat aku memeluk buah hati kami dan menyusuinya.
Saat aku bertanya pada diriku sendiri, “Bagaimana aku, bagaimana anakku, bagaimana kami?”.
            Sempurna, kata-kata yang menguatkanku. Suamiku pergi di salah satu hari terbaik (Senin), salah satu tanggal terbaik (15), salah satu bulan terbaik (ramadhan), dengan cara yang sangat baik dan mudah, dengan kondisi keimanan yang insyaallah semakin lebih baik. Apalagi yang harus kusesali? Bila saat ini dia masih bersamaku, belum tentu dia akan mengalami kemudahan dan keindahan seperti itu.
Begitupun aku, yang begitu nyaman dengan keberadaanku bersamanya, begitu tergantung padanya, hanya sebuah teguran dari Allah yang bisa menyadarkanku. Maka tidak mungkin aku memintanya lebih lama bersamaku bila itu tidak akan membuatnya menjadi lebih baik. Allah yang Maha Tahu
            Cintanya juga telah sempurna. Aku ingat do’a yang diberikan oleh banyak orang di hari pernikahan kami. Do’a agar keluarga kami menjadi sakinah mawaddah warahmah (aku tidak tau apakah sudah terwujud, tapi kami bahagia, wallahua’lam), agar kami bersama sampai ke anak cucu (hanya sampai ke anak, setidaknya setengah do’a ini terijabah, :)), dan semoga hanya terpisahkan oleh maut.
Kami berpisah dengan cara yang sempurna. Setidaknya do’a terakhir benar-benar terwujud, maka apa lagi yang harus aku minta? Bukankah terlalu tidak tau diri bila aku menyesali Alah yang tidak mengijabah semua do’a tersebut?
            Kisah ini jelas bukan kisah bahagia, tidak happy ending seperti kisah dongeng atau novel yang sering aku baca. Tapi juga bukan kisah kesedihan tak berujung seperti sinetron-sinetron masa kini yang tak pernah lagi kutonton. Kisah ini hanya sepenggal cerita anak manusia, kisah wajar yang terjadi dimana-mana. Sebuah kisah yang menjadi pijakan awal untuk mencari bahagia selanjutnya. Bahagia yang kupahami bukanlah terletak pada apa yang dimiliki dan dialami oleh seseorang, tapi bagaimana manusia menyikapi apa yang telah dimiliki dan dialami.
Sabar dan ikhlas yang bukan hanya dibibir, walau mungkin belum benar-benar hadir di hati. Cinta yang tidak harus berwujud dan mengerucut pada satu sosok manusia, tapi belajar membaginya pada banyak jiwa namun tetap bersumber pada sang Maha Pencinta. Belajar mencari hikmah kehidupan.   
            Sahabat, aku tidak lagi menangis saat menulis ini. Aku hanya ingin berbagi seperti amanah ibu, maka jangan ada yang menangis ya.…. Tersenyumlah bersama aku dan Zia, yang selalu berkata, “Kita berdua bahagiakan, Bunda,” :)

By : Ade susanti.
“ based on a personal story”

Ooooooooooo00ooooooooooO

Jika Cinta adalah  proses ujian yg keras dan pahit dalam  kehidupan manusia.
Aku hanya akan belajar dan terus belajar untuk bisa lulus.
Jika cinta adalah senyuman dan tangisan,
begitu pula adanya yang telah ku lalui bersama mu.
Jika cinta adalah  ruang dan waktu,
aku pun hendak mengisi seluruh ruang dan waktu ku hanya dengan mu.

Jikalau Allah hanya memberi satu kesempatan pada setiap manusia untuk mencintai,
aku yakin kesempatan ini telah kugunakan untuk pilihan terbaik, yaitu kau.
Sekilas pernah aku bertanya, “bagaimana nasib cinta ini ?”
Kemudian jantungku berdetak lebih cepat,
merasakan kau hadir begitu nyata dan dekat untuk menjawab semua pertanyaan.
Kemudian jiwa ini berbisik,
“Bukan hanya cinta, bahkan Hati ku akan terus hidup di ragamu”
Tersadarlah aku, bahwa Kau memang benar-benar hadir,
bahkan lebih dekat di dalam diriku.
Aku selalu yakin,
Allah selalu membuat jalan yang tidak pernah berujung,
Akan ada rencana lain setelah satu rencana telah dikehendakiNya.
Mungkin saja tidak di kehidupan sekarang, tapi di kehidupan selanjutnya.

Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
Kau milik Nya, begitu pun aku adanya.

---------------00-----------------


By : m.a sofyrah

Sabtu, 15 Desember 2012

Statistics: Bahan Kuliah Statistik

Statistics: Bahan Kuliah Statistik: Disini Anda bisa mendownload bahan kuliah Statistik: 1. Data Penelitian 2. Penyajian Data Penelitian 3. Ukuran Pemusatan dan Letak Data ...