Ini adalah amanah seorang ibu yang begitu
kehilangan putra bungsu kesayangannya. Ketika beliau mendengarkan ceritaku dan
memintaku untuk menulisnya suatu saat nanti, aku tau beliau begitu ingin
putranya dikenang selamanya. Hal yang pasti aku lakukan tanpa diminta. Walau
ternyata ibu cuma mampu menahankan kehilangannya selama 5 bulan, dan menyusul
kepergian putranya, aku merasa amanah ini harus tetap aku jalankan. Tidak ada
yang aku sesali, walau kekuatan ini baru terkumpulkan sekarang.
Hari senin itu dimulai dengan kegiatan sahur. Seperti biasa membangunkan bang
Aka sahur, dan bersiap menemaninya (waktu itu aku puasa selang-seling karena
menyusui). Zia ikut terbangun, dan entah kenapa aku membawanya ke meja makan
dan mengatakan padanya untuk menemani ayah makan sahur. Dan itulah kali pertama
dan terakhir zia menemani ayahnya makan sahur, kami sahur bersama layaknya
keluarga. Setelah sholat subuh, semua berlangsung biasa, canda yang biasa.
Dan sebelum kembali tidur, bang Aka
berpesan untuk membangunkannya lebih cepat karena ada kerjaan yang harus segera
dia selesaikan, dan mengeluh kepalanya terasa berat, dari malam dia mengeluhkan
itu. Sebagai seorang wanita yang terkadang hanya punya kekuatan dari ucapan,
aku berkomentar panjang tentang pola hidupnya dimana kelelahan otaknya tidak
pernah diimbangi dengan kegiatan fisik, suamiku sering menolak setiap aku ajak
sekedar jalan pagi.
06.30 pagi ketika aku terbangun, aku harus mengajar pagi itu dan masih ada
materi pelajaran yang harus aku siapkan. Melihat suamiku tertidur pulas,
kemudian mengingat pesannya, aku hanya berpikir ingin memberikannya kesempatan
istirahat, maka aku tidak membangunkannya. Aku hidupkan computer, namun tidak
hidup, berkali-kali kucoba tetap tidak hidup (dan kejadian yang sama terulang
ketika bapak menyusul 2 tahun 6 bulan setelahnya, ketika laptopku untuk pertama
kalinya hang dan benar-benar mati). Sampai hampir putus asa karena
computer tak kunjung hidup dan aku ingin membangunkan bang aka, namun kucoba
lagi, hingga akhirnya hidup.
07.00, suamiku memanggil dengan suara pelan, hampir tidak terdengar. Aku
mendatanginya. Bang Aka mengeluh kepalanya semakin sakit, aku membantunya
duduk, sedikit memijat leher, pundak dan kepalanya. Bang Aka masih ingat
memanggil adikku untuk membawa Zia keluar dari kamar, entahlah mungkin dia
tidak ingin Zia melihat kesakitannya. Bang Aka kemudian mengeluh mual dan mau
muntah, setelah dia muntah, aku menyarankan untuk membatalkan puasanya, suamiku
setuju. Aku membuatkan teh manis kesukaannya, tidak pekat dan manis. Bang Aka
minum beberapa teguk. Kemudian dia minta tidur kembali, aku membantunya.
Kupikir suamiku akan tertidur sebentar, maka aku keluar dan menelepon seorang
teman unutk memungkinkan membawanya ke rumah sakit haji. Saat aku kembali ke
kamar, suamiku sedang berusaha untuk turun dari tempat tidur, aku melihat
ketika tubuhnya terhempas ke lantai dalam posisi duduk, aku tidak sempat
menangkap badannya. Aku baru sadar kemudian, saat itu kakinya sudah tidak lagi
sanggup menopang tubuhnya. Aku sempat marah karena itu berbahaya. Saat itu ibu
dan ayah masuk ke kamar, ibu memijat punggungnya, ayah hanya melihatnya.
Dan saat itu dia berkata “Aka minta maaf ya, Bu. Aka minta maaf ya, Yah,” tapi
dengan suara celat, mungkin sepersekian detik aku sempat terpana dan berpikir
‘STROKE?’.
Tapi kemudian bang Aka mendesak untuk meminta
maaf pada abang tertuaku, dan mendesakku untuk menelepon salah seorang kawan
kantornya, dengan nada sedikit marah karena tidak sabar, atau mungkin karena
kesakitannya atau karena celatnya, entahlah. Adikku menelepon abang tertuaku
dan menyampaikan pesan bang Aka, aku menelepon kawan kantornya. Aku hanya
mengatakan bang Aka sakit, mungkin akan dibawa ke rumah sakit, dan dia minta
temannya datang untuk mengambil flashdisc, agar kerjaan bisa dilanjutkan.
Betapa sampai akhir hayatnya pun bang Aka begitu menanggungjawabi pekerjaannya.
Aku kemudian segera meminta ayah dan ibu bersiap untuk mengantar ke rumah
sakit. Abang keduaku mengeluarkan mobil, aku mengambil tensi mencoba
menensinya. Saat kupasang manset, mencoba mencari detak nadinya, bang Aka
tiba-tiba sudah tidak sadar dan mengorok. Aku tidak lagi bisa meraba detak
nadinya mungkin karena panik, batinku. Aku segera melepas manset tensi,
mengganti bajunya, tapi tidak celana pendeknya karena aku enggak kuat
mengangkatnya. Tidak ada satu helaipun baju yang aku siapkan layaknya mau
mempersiapkan untuk opname, aku hanya berpikir segera membawanya ke rumah
sakit.
Aku kembali meminta ayah dan ibu bersiap cepat karena bang Aka sudah tidak
sadarkan diri. Segera ayah dan abang membawanya ke mobil. Abangku nyetir,
ayah di sebelahnya. Bang aka di bangku kedua, ibu di sebelahnya dan aku di
belakang, tepat di sisi kepalanya.
“Ade minta maaf, Bang. Ade ridho…. Lailaahailallah…..” hanya itu kata
yang kuingat kubisikkan di telinganya… entah berapa kali….. hingga tiba-tiba
ibu mengagetkanku…
“Kakinya, yah, kakinya,”spontan kami melihat kakinya, namun aku tidak sempat
melihat apapun, “Coba dipijat, yah,” kata ibu kemudian.
Belakangan aku tau pada saat itu
kakinya tiba-tiba menegang, dan mungkin pada saat itulah malaikat maut berada
didekat kepalaku, mencabut nyawa suamiku.
Saat aku kembali melihat wajahnya, air mata mengalir dari matanya, entah apa
yang kupikirkan waktu itu, aku hanya menghapus air matanya.
“Cari rumah sakit terdekat, enggak usah ke rumah sakit haji,” kataku.
“Udah ke sufina azis aja,” usul ayah dan segera kuiyakan.
Entah apa yang kupikirkan saat itu, tapi yang pasti aku perawat, dan mungkin
saja aku sudah tahu kebenaran, tapi…… Entahlah mungkin tiada seorang istri yang
sanggup mendiagnosis kematian suaminya.
Sampai rumah sakit sekitar jam 8 kurang. Tubuhnya segera dipindahkan ke
brankat. Di ruang IGD, perawat memberikan oksigen dan segera mengambil tensi
untuk menensinya. Perawat kesulitan mencari nadinya, spontan aku memegang
kakinya, mencoba mencari nadi disana, dan entahlah, aku masih merasakannya.
“Sudah tidak teraba ya, kak, disini teraba,” ucapku berusaha sabar. Perawat
melihatku, “Sabar ya, bu,” Cuma itu jawabannya.
Ayah, ibu dan abangku menunggu di depan IGD. Aku sendiri mendampinginya,
berusaha tenang, tapi aku baru sadari saat itu aku tidak bisa diam
memperhatikan wajah suamiku, aku terus berjalan di seputar tempat tidurnya,
mungkin itulah wujud kegelisahanku. Perawat lain datang membawa senter, dan
menyenter matanya.
“Pupilnya sudah melebar ya, kak?” tanyaku, dan pada saat itu mungkin mereka
sadar aku juga tenaga kesehatan. Kembali jawaban yang sama kudengar.
Saat kemudian perawat mencoba
memberikan bantuan dan memijat jantungnya, aku segera benar-benar tahu
apa yang terjadi. Tapi entahlah aku tetap tenang, mendekati perawat,
menepis tangannya, dan meletakkan tanganku di atas dada suamiku, untuk pertama
kalinya sepanjang sejarah hidupku, aku memijat jantung manusia, dan itu suamiku.
Pijatan pertama, mulut suamiku terbuka,
positif aku berpikir dia mencari udara, kedua tidak ada respon, ketiga,
keempat, seterusnya tidak ada respon. Aku tidak tahu sampai kapan, aku
berhenti, kemudian memandangnya, dan entah apa yang aku pikirkan. Saat menatap
wajah tidurnya.
Jam 8.10 menit dokter datang. Aku segera memanggil ibuku, aku bukan merasa
tidak kuat mendengarkan apa yang akan disampaikan dokter, aku hanya merasa
tidak mampu bila harus menyampaikan kebenaran pada keluargaku. Dokter
memeriksa, dan vonis itu datang.
“Ini sudah meninggal, dari di jalan tadi kayaknya,” entah apa yang aku pikirkan
mendengar itu, entah…. Seingatku ibu menangis, entahlah, hanya aku tidak
menangis. Segera yang aku ingat adalah pikiran bagaimana memberitahukan
mertuaku. Otakku berpikir, saat perawat bertanya akan dibawa kemana, tenang aku
menjawab alamat mertuaku, sambil terus berpikir bagaimana cara
memberitahukannya. Dan aku sempat meminta ibu menanyakan administrasinya. Ya
tangisan ibu berhenti, mungkin karena melihat aku tidak menangis.
Aku segera berpikir memberitahukan lewat kakak ipar, tapi aku tiba-tiba
kehilangan cara mencari nomor teleponnya. Segera aku menelepon rumah mertua,
karena itu nomor yang kuhapal. Bapak menerima teleponku, setenang apapun aku
bertanya nomor kak non, bapak sepertinya tahu kalau ada sesuatu, tiba-tiba
bapak yang masih mempunyai ingatan baik diusianya yang 79 tahun lupa
nomor anaknya.
Aku segera minta izin menutup
telepon dan mencari nomor telpon di phonebook hp, ternyata ada. Aku segera
nelepon kakak. Aku tidak ingat bagaimana kakak menjawab telponku, aku hanya
ingat saat bilang “Kak, bang aka sakit,”
“Oya, sakit apa?” tanya kakak santai.
“ Enggak tahu sakit apa kak, tadi kami bawa ke rumah sakit maksudnya mau
opname,” tidak mudah mencari kata-kata.
“Rumah sakit mana?” tanyanya lagi.
“Rumah sakit sufina azis, kak, di karya, tapi waktu kami sampai sini, kata
dokter bang aka udah enggak ada, kak,” salah satu hal tersulit adalah pertama
kali mengatakan dan mengakui secara lisan suamiku sudah meninggal dunia, dan
kak non orang pertama yang mendengar aku mengatakan itu. Pertama kalinya aku
meneteskan air mata.
“Serius de?” tanyanya mulai terisak. Ya allah, akulah orang yang paling ingin
bahwa semua ini hanya canda, hanya pura-pura….
“Iya, kak, bang aka meninggal” aku kembali terisak pelan, “Mau dibawa kemana,
kak?” aku kembali tenang, berusaha menguasai diri.
“Bawa kesana aja,” jawab kakak menyatakan kerumah orang tuaku. Otakku masih
berpikir jernih.
“Kalo dibawa kerumah ayah, bagaimana bapak, kak, bapak enggak mungkin tidak
melihat bang aka untuk terakhir kalinya,” jawabku. Ya bapak sudah tidak mampu
berjalan. Kecelakaan yang menimpanya pada tahun 2003 membuat beliau harus
terduduk di tempat tidur.
“Lagian semua keluarga taunya kesana,” lanjutku, dan akhirnya kakak menyetujui
saranku
Aku tidak pernah suka ambulance, buatku suara sirene selalu identik dengan
kesedihan. Dan seingatku ini kali pertama aku berada di dalamnya, bersama ibu,
dan suamiku… Ahhh tidak mudah menyebutnya almarhum, tidak pada saat itu…
Aku tidak sungguh ingat apa yang aku rasakan, tapi yang pasti aku menelepon untuk
mengabari beberapa orang, sahabatku, teman kerjaku, teman kerja suamiku, dan
sahabat suamiku yang aku kenal. Terkadang dengan nada datar hingga beberapa
orang seperti tidak percaya, terkadang dengan sedikit terisak saat aku
berbicara pada sahabat-sahabat baikku yang begitu mengenal aku dan suamiku.
Ketika dibelokan terakhir mendekati
rumah mertua, aku meminta supir ambulance untuk mematikan suara sirene. Aku
masih belum pasti apakah mertuaku sudah menerima kabar ini. Bahkan aku meminta
supir untuk menurunkan aku lebih dulu sebelum mobil di putar balik. Tidak tau
apa yang akan aku lakukan, tapi setidaknya aku merasa harus berani menghadapi
semua.
Aku melihat ibu, yang kemudian menghambur memelukku, menangis.
“Bontot, de,” isaknya membisikkan panggilan kesayangan keluarga pada si bungsu.
Aku memeluk ibu, sedikit terisak, dan melihat sekitar, rumah ini telah siap
menerima kehadiran suamiku.
Dua buah tilam telah diletakkan di tengah rumah, menghadap ke kiblat, tempat
sementara suamiku melanjutkan tidurnya. Zia yang sudah beberapa saat tidak
melihat kami menyambutku dengan ceria, masih sempat dia mencoba mengganggu
tidur ayahnya, seperti biasa dia berusaha membangunkannya dan mengajak bermain.
Dan aku menutup mata dan telinga dari sekitar, aku tidak ingin melihat tatapan
mereka, aku tidak ingin mendengar ucapan mereka yang aku tau isinya pasti
mengasihani aku dan zia. Aku hanya ingin melewati detik-detik kebersamaan kami
dengan baik. Namun saat wajah ayahnya mulai pucat dan dingin, zia tidak
lagi perduli dan tidak lagi meminta untuk dekat dengan ayahnya.
Ketika ibu memintaku untuk makan. Aku mengikuti langkah ibu ke ruang makan.
Memakan roti dan secangkir teh manis hangat yang telah disiapkan untukku. Bukan
karena aku merasa lapar, aku hanya tidak ingin pingsan dan kehilangan
momen-momen terakhir kami. Aku harus memastikan semua proses berjalan dengan
baik untuk suamiku, mungkin bentuk pengabdian terakhirku.
Ini kali pertama aku mengikuti segala proses pengurusan jenazah. Aku ikut
memandikannya, kali terakhir, dan aku ingat pernah memandikan saat suamiku
sakit. Aku melihat saat suamiku dipakaikan kain kafan, aku ikut memegang kain
panjang untuk menutupinya, dan kala itu kata hatiku berbicara padanya.
“Begitu tenang abang pergi, pasti karena abang sangat mempercayai ade, maka ade
akan jaga kepercayaan abang. Ade dan zia akan melanjutkan sisa hidup kami
dengan sebaik-baiknya, ade akan berusaha menjadikan Zia sholehah seperti amanah
abang. Ade mampu, bang, dan ade tau abang mengenal ade dengan sangat baik, dan
abang pasti tau ade mampu. Allah akan membantu kami,” entahlah, kata-kata itu
meloncat begitu saja dari hatiku. Untuk melepas kepergiannya dengan tenang,
atau untuk menenangkan hatiku, entahlah…… Menciumnya untuk terakhir kalinya,
mengelus alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir tipisnya, berharap mencium
aroma khas tubuhnya, tapi parfum yang diberikan bilal membuat aku menyadari…
Suamiku tidak lagi disini….
Aku mengantar ketika dia disholatkan di mesjid, dan tiada penyesalanku dengan
keadaanku yang tidak memungkinkan untuk ikut mensholatkannya. Aku hanya ingin
memastikan semua proses berjalan baik. Dan saat jenazahnya diantar ke
pemakaman, aku hanya melihatnya, karena ustadz sudah menyampaikan diujung
pengantarnya, bahwa haram seorang wanita ikut ke pemakaman, maka tidak ada
satupun dari kami yang mengikutinya, temasuk aku.
Dan itulah terakhir aku secara fisik berdekatan dengan suamiku…. Saat
kerandanya semakin jauh… Tangisanku meluap saat aku memeluk buah hati kami dan
menyusuinya.
Saat
aku bertanya pada diriku sendiri, “Bagaimana aku, bagaimana anakku, bagaimana
kami?”.
Sempurna, kata-kata yang menguatkanku. Suamiku pergi di salah satu hari terbaik
(Senin), salah satu tanggal terbaik (15), salah satu bulan terbaik (ramadhan),
dengan cara yang sangat baik dan mudah, dengan kondisi keimanan yang insyaallah
semakin lebih baik. Apalagi yang harus kusesali? Bila saat ini dia masih
bersamaku, belum tentu dia akan mengalami kemudahan dan keindahan seperti itu.
Begitupun aku, yang begitu nyaman
dengan keberadaanku bersamanya, begitu tergantung padanya, hanya sebuah teguran
dari Allah yang bisa menyadarkanku. Maka tidak mungkin aku memintanya lebih
lama bersamaku bila itu tidak akan membuatnya menjadi lebih baik. Allah yang
Maha Tahu
Cintanya juga telah sempurna. Aku ingat do’a yang diberikan oleh banyak orang
di hari pernikahan kami. Do’a agar keluarga kami menjadi sakinah mawaddah
warahmah (aku tidak tau apakah sudah terwujud, tapi kami bahagia,
wallahua’lam), agar kami bersama sampai ke anak cucu (hanya sampai ke anak,
setidaknya setengah do’a ini terijabah, :)), dan semoga hanya terpisahkan oleh
maut.
Kami berpisah dengan cara yang
sempurna. Setidaknya do’a terakhir benar-benar terwujud, maka apa lagi yang
harus aku minta? Bukankah terlalu tidak tau diri bila aku menyesali Alah yang
tidak mengijabah semua do’a tersebut?
Kisah ini jelas bukan kisah bahagia, tidak happy ending seperti kisah dongeng
atau novel yang sering aku baca. Tapi juga bukan kisah kesedihan tak berujung
seperti sinetron-sinetron masa kini yang tak pernah lagi kutonton. Kisah ini
hanya sepenggal cerita anak manusia, kisah wajar yang terjadi dimana-mana.
Sebuah kisah yang menjadi pijakan awal untuk mencari bahagia selanjutnya.
Bahagia yang kupahami bukanlah terletak pada apa yang dimiliki dan dialami oleh
seseorang, tapi bagaimana manusia menyikapi apa yang telah dimiliki dan
dialami.
Sabar dan ikhlas yang bukan hanya
dibibir, walau mungkin belum benar-benar hadir di hati. Cinta yang tidak harus
berwujud dan mengerucut pada satu sosok manusia, tapi belajar membaginya pada
banyak jiwa namun tetap bersumber pada sang Maha Pencinta. Belajar mencari hikmah
kehidupan.
Sahabat, aku tidak lagi menangis saat menulis ini. Aku hanya ingin berbagi
seperti amanah ibu, maka jangan ada yang menangis ya.…. Tersenyumlah bersama
aku dan Zia, yang selalu berkata, “Kita berdua bahagiakan, Bunda,” :)
By
: Ade susanti.
“ based on a personal story”
Ooooooooooo00ooooooooooO
Jika Cinta
adalah proses ujian yg keras dan pahit
dalam kehidupan manusia.
Aku hanya
akan belajar dan terus belajar untuk bisa lulus.
Jika
cinta adalah senyuman dan tangisan,
begitu pula
adanya yang telah ku lalui bersama mu.
Jika
cinta adalah ruang dan waktu,
aku pun
hendak mengisi seluruh ruang dan waktu ku hanya dengan mu.
Jikalau Allah
hanya memberi satu kesempatan pada setiap manusia untuk mencintai,
aku yakin
kesempatan ini telah kugunakan untuk pilihan terbaik, yaitu kau.
Sekilas
pernah aku bertanya, “bagaimana nasib cinta ini ?”
Kemudian jantungku
berdetak lebih cepat,
merasakan kau
hadir begitu nyata dan dekat untuk menjawab semua pertanyaan.
Kemudian
jiwa ini berbisik,
“Bukan hanya
cinta, bahkan Hati ku akan terus hidup di ragamu”
Tersadarlah aku,
bahwa Kau memang benar-benar hadir,
bahkan lebih
dekat di dalam diriku.
Aku selalu
yakin,
Allah selalu
membuat jalan yang tidak pernah berujung,
Akan ada
rencana lain setelah satu rencana telah dikehendakiNya.
Mungkin saja
tidak di kehidupan sekarang, tapi di kehidupan selanjutnya.
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
Kau milik Nya, begitu pun aku adanya.
---------------00-----------------
By : m.a sofyrah